“Pejamkan
matamu, tarik napas yang dalam. Dengarkan hanya suaraku. Kamu tidak bisa
mendengar suara yang lain, hanya ada suaraku di sini.”
Aku
mengangguk dan mengikuti semua perintahnya. Aku masuk ke dalam alam bawah sadar.
“Sekarang
kamu berada dalam sebuah gudang. Bagaimanakah keadaan gudang itu?”
Aku
diam. Tubuhku menggigil. Terlintas dalam benakku sebuah gudang yang sempit dan
berdebu. Aku duduk di sana sambil memeluk diri. Hanya ada seberkas cahaya
remang-remang yang menemaniku dalam gudang sempit itu.
Aku
mengatakan semuanya dengan nada gelisah.
“Baiklah.
Lalu kamu mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat–“
Badanku
terhentak. Kepalaku terasa pusing. Tanganku meremas erat pegangan kursi yang aku duduki.
“Dia
semakin mendekat–“
Kurasakan
napasku terengah-engah. Jantungku berdetak kencang dan dadaku sangat sesak.
Kepalaku bergerak, menggeliat ke kiri dan ke kanan. Gelisah. Gemetar. Takut.
“Dan
pintu gudang itu terbuka–“
“AAAAAAA!!!”
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Terlintas di benakku sosok pria setengah
baya yang bertubuh kekar. Rahangnya tegas dan alisnya tebal. Wajah yang
menyeramkan. Dia memandangiku dengan tatapan yang mengerikan. Tangannya menggenggam sebuah kayu yang
diayun-ayunkannya.
Keringatku
bercucuran, napasku menderu-deru. “Jangan.. tidak..” aku merintih. Aku takut
kayu itu akan dipukulnya di tubuhku.
“Siapa
orang yang kau lihat itu?”
Aku
menggigit bibir. “A..ayah.”
Aku mendengar dia bergumam, lantas tidak
adalagi suara yang terdengar. Aku juga ikut terdiam menunggu aba-aba darinya.
Kumanfaatkan waktu luang itu untuk menenangkan diri. Menarik napas panjang dan
menghembuskannya. Begitu berkali-kali hingga jantungku kembali berdetak normal.
“Sekarang
bayangkan sebuah padang rumput.”
Hayalanku
segera berubah. Terlintas di benakku sebuah padang rumput yang luas dan bersih.
Di mana ada domba-domba berkeliaran dan sedang memakan rumput dengan tenang. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai rambut panjangku. Di situ aku memakai gaun putih dan berbaring di tengah-tengah.
Aku
tersenyum.
“Lalu
kamu melihat sebuah ranting pohon.”
Terlintas
sebuah pohon besar dengan ranting yang kokoh dan panjang.
“Kamu
mengulurkan tanganmu dan menggenggam ranting itu.”
Aku
mengikuti perintahnya. Aku mengulurkan tanganku, dalam benakku ranting itu
kugenggam. Saat itu juga tanganku merasakan sesuatu yang hangat dan empuk. Aneh.
Bukankah ranting pohon seharusnya keras dan dingin?
“Apa
yang kau rasakan?”
Aku
terdiam. Ada rasa hangat dari ranting itu. Rasa hangat yang menghantarkan
kenyamanan ke berbagai sel-sel tubuhku. “Hangat. Nyaman. Tenang,” kataku.
“Kapan
terakhir kali kamu merasakannya?”
Kurasa
aku sudah lama tidak merasakannya. “Ketika aku berumur 10 tahun.”
“Sekarang
lepaskan ranting itu.”
Aku
tidak bisa mengikuti perintahnya. Tanganku seakan melekat pada ranting itu. Aku
tidak ingin melepasnya. Tiba-tiba
dadaku terasa sesak. Tubuhku gemetar. Wajahku memanas. Air mataku menetes perlahan sambil tetap
menggenggam ranting itu.
“Ada
apa?” tanyanya. Nada suaranya lembut.
“Aku
tidak ingin melepas ranting ini.”
“Tapi
ranting ini hanya ranting biasa yang keras dan dingin.”
Aku
menggeleng. “Bagiku ranting ini hangat dan lembut.”
“Kalau
begitu buka matamu sekarang. Bangunlah!”
Perlahan
aku membuka mataku. Dan tampaklah sosok itu. Pria setengah baya yang tadi
terlintas di benakku. Bedanya sekarang tatapannya tidak mengerikan dan tidak
ada tongkat kayu di tangannya. Aku menurunkan
pandangan. Melihat tanganku yang menggenggam pergelangan tangannya. Ranting
yang hangat itu ternyata tangan Ayah.
Secara
tiba-tiba aku melepas tanganku dan mengambil langkah mundur. Tubuhku gemetar
dan jantungku berdegup kencang. Bertemu lagi dengan sosoknya setelah kabur
darinya tiga tahun yang lalu adalah hal yang mengerikan.
Melihat
tindakanku, Ayah menunduk dan menghela napas. Aku menangkap kekecewaan dan
kesedihan dari matanya. Ekspresi yang baru bagiku.
“Nak,
jangan takut. Duduklah dengan nyaman,” dia lagi-lagi memerintahku. Saat ini aku
dalam kondisi sadar, namun aku tetap mengikuti perintahnya.
“Mengapa
kamu melepas tanganmu. Bukankah sebelumnya kamu tidak bisa melepaskan tanganmu
dari ranting itu?”
Aku tidak menjawab, lantas memalingkan muka. Ada kekesalan dan amarah yang kurasakan. “Kamu menipuku. Yang kugenggam bukan ranting.”
Yang kugenggam adalah tangan seseorang yang kubenci, tambahku dalam hati.
Yang kugenggam adalah tangan seseorang yang kubenci, tambahku dalam hati.
“Yang
kamu genggam sungguh-sungguh ranting, Nak. Ranting yang hangat seperti yang
kamu rasakan sebelumnya. Namun kamu menolaknya ketika kamu tahu wujud asli
ranting itu.”
Aku
terdiam.
“Nak,
ini adalah jawaban dari sesi terapi kita. Selama ini, kegelisahanmu,
ketakutanmu, kegundahanmu berakar dari masalahmu ketika kecil. Betapa kamu
takut dengan Ayah-”
“Karena
Ayah memang mengerikan!” aku menyela dengan nada sedikit membentak.
Ayahku
semakin tertunduk. Kurasa dia menangis, karena aku mendengar suara isakan.
“Tapi
bila ia mengerikan, mengapa ranting yang kau genggam hangat?”
Lagi-lagi
aku membisu. Kehabisan kata-kata.
“Itulah
Ayahmu, Nak. Dia adalah ranting yang hangat. Ranting yang tidak bisa kamu
lepas. Ranting yang memberimu ketenangan.”
“Tapi
dia memukulku!” Aku menangis.
“Ayah
yang dulu memang jahat, Nak.” Ayah akhirnya membuka suara. Dia menangis deras.
Mukanya sangat merah. “Ayah selalu terlarut dalam emosi dan melimpahkannya
padamu karena tidak ada orang lain lagi di hidup Ayah selain kamu. Ayah memang
jahat, Nak. Tapi Ayah sangat menyangimu. Sungguh!”
Saat
itu hatiku sedikit luluh. Apalagi melihatnya yang tampak begitu rapuh di hadapanku. Namun gengsi membuatku tetap mengacuhkan Ayah. “Ayah
tidak menyangiku. Ayah memukulku.”
“Nak.
Tidak ada orangtua yang membenci anaknya. Orang tua juga manusia. Mereka
melakukan kesalahan dan mereka belajar dari kesalahan mereka.” Dia menarik
tanganku perlahan dan menuntunnya untuk menggenggam lagi pergelangan tangan
Ayah. Entah mengapa, aku tidak menolak. “Ranting ini hangat, Nak. Dia tidak
lagi dingin dan keras.”
Tiba-tiba Ayah menarikku dalam pelukannya. Saat itu juga tangisku pecah. Aku
membiarkan Ayah memelukku. Ada rasa damai, hangat dan tenang terselip di dada.
Rasa-rasa yang tidak pernah merasukiku selama tiga tahun aku menghindari Ayah.
“Maafkan Ayah. Ayah berjanji tidak akan melukaimu lagi, Nak.
Kembalilah pulang.” Begitu kata Ayah di tengah-tengah tangisnya.
Aku akhirnya luluh. Kueratkan pelukanku pada Ayah. “Maafkan aku
juga, Yah. Aku menolak Ayah.”
Psikiater muda itu tersenyum. Dia menepuk-tepuk pundakku setelah aku
melepas pelukanku dengan Ayah. “Mulai hari ini kamu tidak perlu kembali ke
tempat ini. Harimu akan dipenuhi dengan ranting yang hangat.”
Aku tersenyum. Kutatap Ayahku. Sorot matanya kini menenangkan.
Aku menunduk kepada si psikiater muda. “Terimakasih, Bu.”
Aku menunduk kepada si psikiater muda. “Terimakasih, Bu.”
“Pergilah! Nikmatilah hidupmu yang baru.”
Setelah itu aku keluar dari tempat terapi itu sambil menggenggam
tangan Ayah. Tangan yang aku ketahui sebagai ranting yang hangat.
#NewBegining #SelasaBercerita
#NewBegining #SelasaBercerita