Tuesday, July 28, 2015

Ranting Yang Hangat


“Pejamkan matamu, tarik napas yang dalam. Dengarkan hanya suaraku. Kamu tidak bisa mendengar suara yang lain, hanya ada suaraku di sini.”

Aku mengangguk dan mengikuti semua perintahnya. Aku masuk ke dalam alam bawah sadar.

“Sekarang kamu berada dalam sebuah gudang. Bagaimanakah keadaan gudang itu?”

Aku diam. Tubuhku menggigil. Terlintas dalam benakku sebuah gudang yang sempit dan berdebu. Aku duduk di sana sambil memeluk diri. Hanya ada seberkas cahaya remang-remang yang menemaniku dalam gudang sempit itu.

Aku mengatakan semuanya dengan nada gelisah.

“Baiklah. Lalu kamu mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat–“

Badanku terhentak. Kepalaku terasa pusing. Tanganku meremas erat  pegangan kursi yang aku duduki.

“Dia semakin mendekat–“

Kurasakan napasku terengah-engah. Jantungku berdetak kencang dan dadaku sangat sesak. Kepalaku bergerak, menggeliat ke kiri dan ke kanan. Gelisah. Gemetar. Takut.

“Dan pintu gudang itu terbuka–“

“AAAAAAA!!!” Aku berteriak sekencang-kencangnya. Terlintas di benakku sosok pria setengah baya yang bertubuh kekar. Rahangnya tegas dan alisnya tebal. Wajah yang menyeramkan. Dia memandangiku dengan tatapan yang mengerikan.  Tangannya menggenggam sebuah kayu yang diayun-ayunkannya.

Keringatku bercucuran, napasku menderu-deru. “Jangan.. tidak..” aku merintih. Aku takut kayu itu akan dipukulnya di tubuhku.

“Siapa orang yang kau lihat itu?”

Aku menggigit bibir. “A..ayah.”

 Aku mendengar dia bergumam, lantas tidak adalagi suara yang terdengar. Aku juga ikut terdiam menunggu aba-aba darinya. Kumanfaatkan waktu luang itu untuk menenangkan diri. Menarik napas panjang dan menghembuskannya. Begitu berkali-kali hingga jantungku kembali berdetak normal.

“Sekarang bayangkan sebuah padang rumput.”

Hayalanku segera berubah. Terlintas di benakku sebuah padang rumput yang luas dan bersih. Di mana ada domba-domba berkeliaran dan sedang memakan rumput dengan tenang. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai rambut panjangku. Di situ aku memakai gaun putih dan berbaring di tengah-tengah.

Aku tersenyum.

“Lalu kamu melihat sebuah ranting pohon.”

Terlintas sebuah pohon besar dengan ranting yang kokoh dan panjang.

“Kamu mengulurkan tanganmu dan menggenggam ranting itu.”

Aku mengikuti perintahnya. Aku mengulurkan tanganku, dalam benakku ranting itu kugenggam. Saat itu juga tanganku merasakan sesuatu yang hangat dan empuk. Aneh. Bukankah ranting pohon seharusnya keras dan dingin?

“Apa yang kau rasakan?”

Aku terdiam. Ada rasa hangat dari ranting itu. Rasa hangat yang menghantarkan kenyamanan ke berbagai sel-sel tubuhku. “Hangat. Nyaman. Tenang,” kataku.

“Kapan terakhir kali kamu merasakannya?”

Kurasa aku sudah lama tidak merasakannya. “Ketika aku berumur 10 tahun.”

“Sekarang lepaskan ranting itu.”

Aku tidak bisa mengikuti perintahnya. Tanganku seakan melekat pada ranting itu. Aku tidak ingin melepasnya. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tubuhku gemetar. Wajahku memanas. Air mataku menetes perlahan sambil tetap menggenggam ranting itu.

“Ada apa?” tanyanya. Nada suaranya lembut.

“Aku tidak ingin melepas ranting ini.”

“Tapi ranting ini hanya ranting biasa yang keras dan dingin.”

Aku menggeleng. “Bagiku ranting ini hangat dan lembut.”

“Kalau begitu buka matamu sekarang. Bangunlah!”

Perlahan aku membuka mataku. Dan tampaklah sosok itu. Pria setengah baya yang tadi terlintas di benakku. Bedanya sekarang tatapannya tidak mengerikan dan tidak ada tongkat kayu di tangannya. Aku menurunkan pandangan. Melihat tanganku yang menggenggam pergelangan tangannya. Ranting yang hangat itu ternyata tangan Ayah.

Secara tiba-tiba aku melepas tanganku dan mengambil langkah mundur. Tubuhku gemetar dan jantungku berdegup kencang. Bertemu lagi dengan sosoknya setelah kabur darinya tiga tahun yang lalu adalah hal yang mengerikan.

Melihat tindakanku, Ayah menunduk dan menghela napas. Aku menangkap kekecewaan dan kesedihan dari matanya. Ekspresi yang baru bagiku.

“Nak, jangan takut. Duduklah dengan nyaman,” dia lagi-lagi memerintahku. Saat ini aku dalam kondisi sadar, namun aku tetap mengikuti perintahnya.

“Mengapa kamu melepas tanganmu. Bukankah sebelumnya kamu tidak bisa melepaskan tanganmu dari ranting itu?”

Aku tidak menjawab, lantas memalingkan muka. Ada kekesalan dan amarah yang kurasakan.  “Kamu menipuku. Yang kugenggam bukan ranting.” 

Yang kugenggam adalah tangan seseorang yang kubenci, tambahku dalam hati.

“Yang kamu genggam sungguh-sungguh ranting, Nak. Ranting yang hangat seperti yang kamu rasakan sebelumnya. Namun kamu menolaknya ketika kamu tahu wujud asli ranting itu.”

Aku terdiam.

“Nak, ini adalah jawaban dari sesi terapi kita. Selama ini, kegelisahanmu, ketakutanmu, kegundahanmu berakar dari masalahmu ketika kecil. Betapa kamu takut dengan Ayah-”

“Karena Ayah memang mengerikan!” aku menyela dengan nada sedikit membentak.

Ayahku semakin tertunduk. Kurasa dia menangis, karena aku mendengar suara isakan.

“Tapi bila ia mengerikan, mengapa ranting yang kau genggam hangat?”

Lagi-lagi aku membisu. Kehabisan kata-kata.

“Itulah Ayahmu, Nak. Dia adalah ranting yang hangat. Ranting yang tidak bisa kamu lepas. Ranting yang memberimu ketenangan.”

“Tapi dia memukulku!” Aku menangis.

“Ayah yang dulu memang jahat, Nak.” Ayah akhirnya membuka suara. Dia menangis deras. Mukanya sangat merah. “Ayah selalu terlarut dalam emosi dan melimpahkannya padamu karena tidak ada orang lain lagi di hidup Ayah selain kamu. Ayah memang jahat, Nak. Tapi Ayah sangat menyangimu. Sungguh!”

Saat itu hatiku sedikit luluh.  Apalagi melihatnya yang tampak begitu rapuh di hadapanku. Namun gengsi membuatku tetap mengacuhkan Ayah. “Ayah tidak menyangiku. Ayah memukulku.”

“Nak. Tidak ada orangtua yang membenci anaknya. Orang tua juga manusia. Mereka melakukan kesalahan dan mereka belajar dari kesalahan mereka.” Dia menarik tanganku perlahan dan menuntunnya untuk menggenggam lagi pergelangan tangan Ayah. Entah mengapa, aku tidak menolak. “Ranting ini hangat, Nak. Dia tidak lagi dingin dan keras.”

Tiba-tiba Ayah menarikku dalam pelukannya. Saat itu juga tangisku pecah. Aku membiarkan Ayah memelukku. Ada rasa damai, hangat dan tenang terselip di dada. Rasa-rasa yang tidak pernah merasukiku selama tiga tahun aku menghindari Ayah.

“Maafkan Ayah. Ayah berjanji tidak akan melukaimu lagi, Nak. Kembalilah pulang.” Begitu kata Ayah di tengah-tengah tangisnya.

Aku akhirnya luluh. Kueratkan pelukanku pada Ayah. “Maafkan aku juga, Yah. Aku menolak Ayah.”

Psikiater muda itu tersenyum. Dia menepuk-tepuk pundakku setelah aku melepas pelukanku dengan Ayah. “Mulai hari ini kamu tidak perlu kembali ke tempat ini. Harimu akan dipenuhi dengan ranting yang hangat.”

Aku tersenyum. Kutatap Ayahku. Sorot matanya kini menenangkan. 

Aku menunduk kepada si psikiater muda. “Terimakasih, Bu.”

“Pergilah! Nikmatilah hidupmu yang baru.”

Setelah itu aku keluar dari tempat terapi itu sambil menggenggam tangan Ayah. Tangan yang aku ketahui sebagai ranting yang hangat.

#NewBegining #SelasaBercerita

Thursday, July 9, 2015

Sepenggal Curhatan Tentang SBMPTN 2015



Sebelum memulai sepenggal curhatan ini, saya ingin menceritakan kegagalan saya dulu di SNMPTN 2015. 
Saat itu saya memilih dua prodi baru di UNPAD (prodi-prodi baru komunikasi) dengan harapan tidak banyak yang minat sehingga saya bisa lolos. Namun saat memilih kedua prodi ini saya sedikit berkonfilk dengan orang tua saya karena mereka sesungguhnya tidak rela saya kuliah di Jatinangor (yang katanya rawan.) Tapi saya tetap ngotot dan membuat nazar bila saya tidak keterima, saya akan menuruti pilihan orang tua saya.

Akhirnya saya sungguh-sungguh gagal.

Saat itu entah mengapa saya tidak sedih. Kecewa iya, tapi saya tidak menangis. Lalu saya mulai sibuk mempersiapkan SBMPTN. Berbagai macam rintangan terjadi dalam rangka mempersiapkan SBMPTN. Saya belajar keras. Hampir tiap malam saya membaca buku "SKS" atau mengerjakan soal. Saya juga tiap hari mengikuti bimbingan belajar selama kurang lebih 3 jam.
Rintangan terberat yang harus saya hadapi adalah saya harus kecelakaan motor.
Akibat dari kecelakaan motor itu, saya trauma untuk menyebrang ke tempat les saya. Akhirnya mama saya selalu mengantar saya ke tempat bimbel itu. Saat itu saya bertekad bahwa saya harus masuk SBMPTN.

Sesuai dengan nazar saya, saya mengikuti pilihan orang tua saya. Pilihan pertama saya adalah prodi UNPAD yang berada di Bandung (Hukum), meskipun sesungguhnya saya tidak terpikir akan masuk ke prodi itu. Satu lagi prodi yang di Jatinangor namun bukan pilihan saya pada SNMPTN (Manajemen Komunikasi). Pilihan kedua itu saya ambil karena prodi itu tidak masuk dalam daftar 10 prodi favorit UNPAD.

Intermezzo sedikit, sejak dulu saya sesungguhnya tidak ingin kuliah, dikarenakan bakat-bakat saya itu ada di dunia seni. Namun orang tua saya bilang pendidikan itu tetap harus. S1 itu perlu. Nanti ketika kuliah saya akan kuliah sambil menjalani segala hobi-hobi saya.

Lanjut.

Bimbel saya selalu mengadakan Try Out mingguan. Saat itu saya selalu mendapat nilai yang baik. Awalnya dan tiga kali berturut-turut dinyatakan lolos passing grade. Saat itu saya cukup percaya diri. Saya selalu masuk 10 besar peraih nilai tertinggi di Try Out mingguan Bimbel saya.

Hari SBMPTN pun tiba. Saat mengerjakan soal TKPA, saya merasa gagal. Ada 15 soal gambar sedangkan itu adalah kelemahan saya. Di tambah lagi, soal bahasa Inggris sangat susah. Alhasil, saya hanya bisa mengerjakan 27 soal TPA, 2 soal matematika, 13 soal Bahasa Indonesia, dan 4 soal Bahasa Inggris. 
Begitu Istirahat saya betul-betul merasa kosong. Saya tidak selera makan, dan terus memikirkan nasib SBMPTN saya. Saya juga berdoa semoga soal SOSHUM tidak susah.
Tuhan menjawab doa saya. Soal SOSHUM dapat saya kerjakan dengan lancar. Saya bisa menjawab 8 Soal Ekonomi dan yakin betul semua, 13 soal Sosiologi dan juga yakin betul semua, lalu sisanya saya mengerjakan 6 soal geografi dan 7 soal sejarah. Untuk Sejarah hanya ada 4 soal yang saya yakini benar, dan untuk geografi saya yakin 5 soal benar, (dan ternyata jawaban saya yang 1 lagi juga benar). 
Mengetahui kesuksesan saya di SOSHUM dan kegagalan saya di TKPA, saya merasa saya hanya bisa diterima di pilihan kedua, namun saya tidak masalah karena memang pilihan dua adalah pilihan saya sendiri, bukan pilihan orang tua saya.

Setelah itu hari-hari sebelum pengumuman saya hanya bisa berdoa. Oh, bahkan saya melakukan pantangan. Dan saya diberi kabar mengejutkan. Ada dua kabar.
Pertama, prodi pilihan pertama saya yang berada di UNPAD Bandung rumornya akan dipindahkan ke Jatinangor juga. Padahal orang tua saya tidak rela saya kuliah di Jatinangor. Dan padahal juga saya ingin kuliah di Bandung.
Kedua. Informasi bahwa UNPAD adalah Kampus favorit SBMPTN dan ternyata kedua pilihan SBMPTN saya masuk favorit UNPAD. Yang satunya di urutan kedua, satu lagi di urutan kelima padahal sebelumnya pilihan kedua saya tidak masuk favorit di SBMPTN.
Saat itu saya merasa saya akan gagal. 

Dan saya betul-betul Gagal.

Hari ini (9 Juli 2015) saya mengetahui bahwa saya tidak lulus SBMPTN. Saya hanya bisa menangis. Namun ketika berkontak dengan teman-teman saya, banyak juga yang tidak diterima padahal mereka lebih pintar dari saya. Saya merasa senasib sepenanggungan. Saya percaya bahwa Tuhan punya rencana yang lebih indah untuk kedepannya. Rencana Tuhan lebih indah daripada rancangan kita sebagai manusia biasa.

SEMANGAT YANG TIDAK LOLOS SBMPTN! KITA PASTI BISA!!